Di balik birunya lautan Indonesia, tersimpan potensi luar biasa untuk membangun masa depan ekonomi yang berkelanjutan. Laut bukan hanya soal ikan—tapi juga tentang energi, wisata, budaya, hingga jasa ekosistem yang menopang kehidupan jutaan masyarakat pesisir.
Namun, potensi besar ini tidak datang tanpa tantangan. Banyak kawasan pesisir dan laut justru mengalami tekanan hebat akibat penangkapan ikan berlebih, pencemaran, abrasi, serta perubahan iklim. Ironisnya, sebagian besar kawasan konservasi laut di Indonesia belum memberikan manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat sekitar. Ini menyebabkan konservasi kerap dipandang sebagai pembatas, bukan peluang.
Tantangan: Konservasi yang Terisolasi dari Ekonomi Lokal
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kawasan konservasi yang tidak dikelola secara inklusif kerap menjadi beban. Warga sekitar dilarang menangkap ikan, namun tidak diberikan alternatif mata pencaharian. Di sisi lain, potensi wisata bahari, jasa lingkungan, atau budidaya laut sering tidak tergarap karena minimnya kelembagaan dan akses pembiayaan.
Akibatnya, konservasi berjalan di atas kertas, tapi tidak berdampak di lapangan.
Transformasi: Ekonomi Biru yang Bertumpu pada Kawasan Konservasi
Ekonomi biru hadir sebagai jawaban: sebuah pendekatan pembangunan yang memadukan pemanfaatan laut secara berkelanjutan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kawasan konservasi daerah, jika dikelola dengan baik, dapat menjadi epicentrum ekonomi biru. Potensinya meliputi:
- Ekowisata laut dan pesisir: aktivitas seperti snorkeling, edukasi mangrove, dan wisata budaya laut,
- Budidaya berkelanjutan: seperti rumput laut, kerang mutiara, hingga teripang,
- Jasa ekosistem: seperti pengelolaan karbon biru dari mangrove dan padang lamun,
- Usaha mikro pesisir: olahan hasil laut, suvenir lokal, hingga homestay.
Kuncinya adalah menyatukan pengelolaan lingkungan dan usaha ekonomi dalam satu sistem yang terorganisir, akuntabel, dan inklusif.
Solusi: Penguatan Kelembagaan dan Sistem Layanan
Agar kawasan konservasi dapat menjadi tulang punggung ekonomi biru masyarakat pesisir, diperlukan tata kelola kelembagaan yang adaptif, profesional, dan responsif terhadap dinamika lokal. Pendekatan pengelolaan yang mampu menggabungkan fleksibilitas operasional dengan prinsip akuntabilitas kini menjadi semakin relevan, terutama dalam menjawab tantangan keberlanjutan dan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan konservasi.
Dengan skema ini, kawasan konservasi bisa:
- Mengelola pendapatan dari jasa ekowisata atau retribusi secara langsung,
- Membangun kerjasama dengan UMKM, koperasi, dan BUM Desa setempat,
- Menyediakan insentif bagi masyarakat yang terlibat menjaga ekosistem,
- Memastikan kesinambungan pembiayaan dan operasional.
Menjembatani Konservasi dan Ekonomi Masyarakat
Syncore Indonesia hadir untuk memperkuat koneksi antara konservasi dan ekonomi lokal melalui program integrasi kelembagaanantara Pemerintah Daerah dan Desa. Dengan pengalaman mendampingi kelembagaan ekosistem ekonomi pesisir dan kawasan strategis lainnya, Syncore membantu:
- Pemetaan dan kajian model kelembagaan yang tepat untuk kawasan konservasi,
- Menyusun perencanaan ekonomi biru berbasis kawasan konservasi,
- Membangun kapabilitas SDM dan kelembagaan pada kawasan konservasi,
- Menerapkan sistem tata kelola dan akuntabilitas keuangan berbasis digital,
- Menghubungkan usaha lokal dengan mitra pasar, pemerintah, dan investor.
Ekonomi biru bukan hanya tentang laut, ia tentang manusia, sistem, dan visi jangka panjang. Dengan pendekatan kolaboratif, kawasan konservasi dapat menjadi sumber daya yang bukan hanya dijaga, tapi juga dihidupkan untuk hari ini, dan generasi yang akan datang.
Tulis Komentar